Pemikiran fikih sosial KH Ali Yafie menjadi pintu masuk bagi kita untuk mendudukkan secara proporsional dan kontekstual bagaimana memahami ajaran Islam yang berdimensi sosial. Seperti konsep kemaslahatan yang dikontekstualisasi dalam fiqh sosial KH. Ali Yafie dalam merespons program pemerintah di masa Orde Baru.
Wawasan sosilogis mewarnai pikiran fiqh sosial KH. Ali Yafie guna memberikan alternatif pemikiran Hukum Islam yang kontekstual. Gagasan Fikih Sosial ini telah menjadi salah satu gagasan yang diperjuangkannya sebagai solusi untuk mewujudkan masyakarakat yang sejahtera dunia dan akhirat yang banyak diapresiasi oleh para ilmuwan
Dalam sejarahnya, gagasan fikih sosial yang diusung oleh K.H. Ali Yafie ini muncul seketika proyek Bahtsul Masail yang sering diadakan Nahdhatul Ulama tidak lagi sanggup untuk mengatasi berbagai permasalahan baru yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat sekarang. Keistikamahan pola berfikir kiai-kiai NU secara qauli merupakan salah satu sasaran objek yang dikritik oleh K.H. Ali Yafie.
Menurut beliau, di zaman yang banyak sekali muncul permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks ini, pola berfikir secara Manhaji adalah pola berfikir yang mesti diterapkan, supaya dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat
Pada hari Sabtu, pukul 22.13 WIB, 25/02/2023, di usinya yang ke 96 tahun, KH Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Aam PBNU telah berpulang kerahmatullah. KH Ali Yafie meninggal usai dirawat di Rumah Sakit Bintaro, Tangerang Selatan (Tangsel).
KH. Ali Yafie merupakan anak ketiga dari lima bersaudara yakni As'ad, Muzainah, Munarussana, dan Amira. Orang tuanya adalah Syekh Muhammad Al-Yafie dan Imacayya. Ibunya adalah seorang putri raja dari salah satu kerajaan di Tanete, sebuah desa di pesisir barat Sulawesi Selatan.
Sementara, ibunya, Imacayya wafat saat Ali Yafie berusia 10 tahun. Lalu ayahnya menikah lagi dengan Tanawali. Pasangan ini diberi empat keturunan; Muhsanah, Husain, Khadijah, dan Idris. Muhammad Al-Yafie meninggal pada awal 1950-an.
K.H. Ali Yafie atau yang kerap dipanggil dengan sapaan Kiai Ali lahir pada 1 September 1924 di Wani Donggala, Sulawesi Tengah. Ia terlahir dari keluarga yang sangat agamis dan terdidik. Ayah dan kakeknya adalah dua tokoh ulama besar di Sulawesi. Kakeknya bernama Syeikh Abdul Hafidz Bugis.
Beliau merupakan salah satu ulama Indonesia yang pernah mengajar di Masjid al-Haram, selain Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sedangkan ayahnya sendiri adalah seorang Kiai yang pernah mengasuh ratusan santri dan pendiri pondok pesantren yang terkenal di Sulawesi, Pondok Pesantren Nashrul Haq di daerah Amparita, Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan.
Sejak kecil, K.H. Ali sudah mendapat pendidikan agama yang cukup ketat. Dengan kecerdasannya, pada usia 12 tahun, K.H. Ali telah mampu membaca kitab kuning. Sungguh suatu kemampuan yang jarang dimiliki oleh anak-anak seusianya. Melihat kemampuan K.H. Ali tersebut, ayahnya mengirimnya untuk belajar dengan beberapa ulama yang berada di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya, seperti Ujung Pandang, Bone, dan lain-lain.
Di antara ulama yang pernah mendidik K.H. Ali kecil adalah Syekh Ali Mathar (Rappang), Syekh Haji Ibrahim (Sidrap), Syekh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syekh As’ad (Sengkang), Syekh Ahmad Bone (Ujung Pandang), dan Syeikh Abdurrahman Firdaus, seorang ulama pengembara dari Mekah. Dan dengan Syekh Abdurrahman Firdaus ini, K.H. Ali belajar fiqih, tafsir, sastra Arab, dan pemikiran-pemikiran beberapa tokoh pembaharu dari Arab, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Perhatian K.H. Ali kecil terhadap pentingnya ilmu pengetahuan memang luar biasa. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama yang terdapat dalam kitab kuning klasik, Ia juga mempelajari ilmu-ilmu umum lainnya, seperti sains, jurnalistik, dan beberapa bahasa asing. Makanya, tidak salah jika pemikiran atau gagasan-gagasan yang dikeluarkan KH. Ali tidak kalah dengan para sarjanawan yang sekolah di negeri Barat sana.
Dalam perjalan karirnya, K.H. Ali Yafie mempunyai beragam pekerjaan dan jabatan. Tercatat, ia pernah aktif sebagai guru/dosen dari tingkat Madrasah hingga tingkat perguruan tinggi, bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar (1965-1971). Selain itu, ada beberapa jabatan penting yang pernah ia duduki.
Di antaranya adalah Hakim pengadilan Tinggi Agama Makassar, Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, anggota staf harian sekaligus anggota dewan pleno Badan Pembina Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin, wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syaria’ah Bank Mu’amalat, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Guru Besar Universitas as-Syafi’iyyah, Rais ‘Am Nahdhatul Ulama (1991-1992), Ketua MUI (1990-2000) dan lain-lain.
K.H. Ali Yafie juga terbilang aktif dalam dunia politik hingga mengantarkannya menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan, dan menjadi anggota DPR/MPR RI. Walaupun tidak terbilang lama, namun pengalaman-pengalaman ini memberikan sebuah pandangan baru yang berharga bagi KH. Ali Yafie.
No comments:
Post a Comment